Pagi planners..
Setelah sekian jam dilanda gempa yang cukup dahsyat, Kota Pensylvenia di Amerika serikat mengalami porak poranda yang cukup hebat. Oleh sebab itu, pemerintah setempat merencanakan untuk segera memulihkan kota. Suatu saat, mandor bangunan yang memimpin renovasi pemulihan kota berjalan-jalan sambil melakukan pengawasan terhadap pekerja perbaikan kota tersebut. Saking asyiknya berjalan, sang mandor tidak menyadari bahwa beberapa langkah didepannya terbantang kabel listrik beraliran tinggi yang siap merenggut nyawanya.
Pekerja yang berada beberapa meter di belakangnya melihat bahaya yang mengancam sang mandor, mereka pun kemudian mencoba untuk mengingatkannya dengan berteriak. Namun, teriakannya nyaris tak terdengar ditelan suara deru mesin dan traktor yang ada di sekitar tempat itu. Demi menyelamatkan mandornya, pekerja tersebut mengambil batu kecil dan melemparkannya ke arah kepala sang mandor hingga berdarah. Mandor kaget dan marah sambil melihat ke belakang, mencari siapa yang telah melempar kepalanya.
Begitu sang mandor menoleh ke belakang, pekerja yang melemparnya tadi langsung mengangkat tangan dan menunjuk ke arah kaki sang mandor. Apa yang dilihatnya membuat sang mandor shock dan kaget luar biasa, karena dua langkah ke depan kakinya akan menyentuh kabel listrik bertegangan tinggi. Untung ada pekerja yang melemparkan batu ke arah kepalanya untuk mengingatkan bahwa ada bahaya besar yang siap mengancam. Kepala sang mandor memang berdarah, namun nyawanya tertolong.
Hikmah
Terkadang, dalam kehidupan ini telinga kita sudah terlalu kebal terhadap suara-suara peringatan yang bertujuan membawa kita ke arah kehidupan yang lebih baik. Popularitas, ambisi, kesombongan, kekayaan, dan segala kompetensi yang dimiliki sering membutakan nurani dan menumpulkan ketajaman pendengaran kita terhadap alunan musik introspeksi yang merdu.
Ada kalanya seseorang harus “dilempar batu” dulu untuk memosisikannya kembali agar tidak terjerumus lebih jauh.
Tanpa “lemparan batu”, yakni ketika laboratorium Thomas Alva Edison terbakar, mungkin saat ini kita masih hidup dalam kegelapan. Kolonel Sanders pun harus mengalami “lemparan batu” bertubi-tubi berupa penolakan, hingga sekarang kita bisa menikmati gurihnya Kentucky Fried Chicken.
Beberapa contoh “lemparan batu” itu ternyata membuat introspeksi yang mendalam untuk memposisikan kembali apa arti hidup dan tujuan bekerja yang sebenarnya. Itulah sebabnya setiap “lemparan batu” seyogyanya dimaknai sebagai bagian dari pengembangan kualitas diri yang optimal, sekalipun lingkungan mungkin emaknai sebagai suatu kegagalan, kejatuhan, maupun kehancuran.
(Buku Setengah Isi Setengah Kosong, Parlindungan Marpaung, Hal. 214-217)